Rabu, 06 April 2011

Merancang Masa Depan Kotamobagu

Merancang Masa Depan Kotamobagu 

Kotamobagu tak bisa dibiarkan berkembang secara alami jika kita tak ingin Kotamobagu menjadi kota mati. Karena itu, perencanaan sejak awal sangat diperlukan.


Demikian kesimpulan yang mengemuka dalam diskusi Ľebe yang diadakan di tribun olahraga “Aruman” Motoboi Kecil pada Selasa malam 15 Agustus 2006. Diskusi yang menghadirkan Drs. Hamdi Gugule, MSI (Rektor UDK), Robby Helweldery, SE (Dekan FE UDK), dan Herson Mayulu, SIP (Ketua Komisi C DPRD Bolmong) ini juga dihadiri tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dosen, dan masyarakat umum dari berbagai penjuru Bolaang Mongondow.
Diskusi yang bertema “Masa Depan Kotamobagu Pasca Mekar” ini berjalan lancar dan mendapat sambuatan yang cukup antusias dari peserta diskusi.
Jadi-tidaknya Kota Kotamobagu tak lagi menjadi wacana dalam diskusi ini. Keberadaan Kota Kotamobagu sebenarnya tak perlu dikhwatirkan. Sarana dan prasarananya sudah terbangun sejak lama. Ini yang menempatkan Kotamobagu di ranking pertama Kabupaten/Kota yang akan dimekarkan.
Menurut informasi dari Drs. Samsudin Akub yang saat itu menjadi peserta diskusi, berdasarkan informasi dari kontaknya di Jakarta, Kota Kotamobagu sudah menjadi kepastian. Kota Kotamobagu salah satu dari 10 Kabupaten/Kota yang akan dimekarkan pada September nanti yang di Sulawesi Utara hanya ada tiga: Kota Kotamobagu, Bolaang Mongondow Utara, dan Sitaro.
Karena itu, diskusi ini lebih dikonsentrasikan pada bagaimana mengisi Kotamobagu setelah dimekarkan mengingat Kotamobagu tak bisa dibiarkan berkembang secara alami.
Setidaknya ada empat rekomendasi dalam diskusi ini. Pertama, Kotamobagu sebagai kota jasa.
Sebagai kota jasa, produk utama diarahkan ke  entertain, penginapan, resto/café, dan perdagangan. Sampai sekarang dunia hiburan belum dikelola dengan baik.
“Kotamobagu sebagai daerah tengah dan sudah dikembangkan sejak Bolaang Mongondow berdiri seharusnya bisa memberikan hiburan bagi daerah sekitar. Jadi, ketika siang masyarakat menyebar mencari nafkah di daerah sekitar Kotamobagu dan malamnya bisa ke Kotamobagu untuk menikmati hiburan dan berbelanja,” Robby Helweldery yang malam itu didaulat untuk bicara Kotamobagu dari sisi ekonomi.
Begitu juga dengan penginapan belum ada yang memenuhi standar sehingga bisa menarik pelancong untuk tinggal dan menikmati alam Bolaang Mongondow. Resto/café masih sangat sedikit yang di manaj secara professional dan dibuka 24 jam sehingga membuat pendatang kesusahan.
“Sampai sekarang, penginapan yang representatif baru Patra Jasa. Itupun daya tampungnya sangat terbatas sehingga kita kesulitan ketika mendapat kunjungan pejabat dari pusat. Lihatlah, sangat sedikit sekali pejabat yang mengunjungi Bolaang Mongondow yang menginap di sini. Mereka lebih senang menginap di Manado dan siangnya datang ke Kotamobagu. Kita juga kesulitan mencari rumah makan yang representatif diatas jam 9 malam,” Herson Mayulu, menyesalkan. Menurut politisi Totabuan ini, kondisi yang ada mempersulit lobi politik.
Perdagangan juga masih berpusat dipasar dan supermarket yang terkosentrasi di Kotamobagu dan beberapa kelurahan sekitar. khusus untuk perdagangan, sebisa mungkin tersebar di seluruh eks Kecamatan Kotamobagu.
Terkait dengan pengembangan Kotamobagu sebagai Kota Jasa, diingatkan bahwa akan mengundang ekses negatif. Munculnya dunia prostitusi adalah salah satunya. Namun semua yang hadir sepakat bahwa ekses negatif tersebut dapat diatasi. Hamdi Gugule mengajukan pendidikan sebagai solusi.
“Dengan membangun SDM yang kuat dari segi IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan IMTAK (Iman dan Takwa), ekses negatif dalam pembangunan setidaknya dapat dinetralisir karena arah utama pendidikan adalah untuk mewujudkan insan manusia yang dapat membedakan baik buruk,” kata Rektor UDK yang juga menjadi dosen tetap UNIMA (Universitas Negeri Manado) ini.
Kedua, Kotamobagu sebagai kota pendidikan. Dalam hal ini, Universitas Dumoga Kotamobagu (UDK) harus menjadi kebanggaan Kotamobagu dan Bolaang Mongondow. Namun penataaan dan pengembangan juga harus diperhatikan. Dengan tiga fakultas yang ada dirasa masih kurang memenuhi keinginan masyarakat yang haus ilmu pengetahuan. Juga penambahan fasilitas dan pembenahan bangunan.
Dengan adanya pembenahan tersebut diharapkan ke depannya UDK akan menjadi pilihan putra-putri Totabuan. Tidak seperti sekarang yang sebagian besar anak daerah masih kuliah diluar.
“Saya tidak mengatakan seluruh anak daerah harus kuliah di UDK. Namun, setidaknya UDK satu-satunya Universitas di tanah Totabuan juga harus diperhatikan. Siapa lagi yang akan membenahi kampus kebanggaan kita ini kalau bukan kita?” kata Hamdi Gugule, Rektor UDK, ikhlas.
Sebagai Kota Pendidikan, ke depannya harus tumbuh lembaga-lembaga pendidikan yang mendidik tenaga-tenaga trampil yang akan membangun Kotamobagu.
Ketiga, Kotamobagu sebagai kota budaya. Bolaang Mongondow ketika dibentuk sebenarnya terdiri dari 4 eks swapraja. Dan disadari atau tidak, Kotamobagu merupakan pemersatu. Karena itu, keberadaan Kotamobagu sebagai sentral budaya dari 4 eks swapraja harus dipertahankan.
“Pendirian rumah adat ke empat eks swapraja di Kotamobagu, juga pelestarian tradisi serta penulisan budaya, sangat diperlukan,” ujar Hamdi Gugule yang juga menjadi anggota tim penyusun Perda tentang Masyarakat Adat Bolaang Mongondow.
Keberadaan rumah adat ke empat eks swapraja di Kotamobagu, selain ditujukan untuk melestarikan budaya, juga diharapkan dapat menjadikan Kotamobagu sebagai tempat wisata budaya
Keempat, Kotamobagu sebagai daerah home industri.
Wilayah Kotamobagu yang mungil tak mungkin dapat dikembangkan sebagai daerah industri. Namun, untuk menunjang sector jasa maka usaha-usaha mikro yang ramah lingkungan dan berbasis rumah tangga perlu dipelihara dan dikembangkan. Home industri yang telah ada seperti kacang goyang, peralatan rumah tangga, dan lainnya harus lebih diperhatikan.
Dengan segala sumberdaya yang ada, sebenarnya akan mudah mewujudkan rekomendasi ini. Tinggal tergantung pada kita, pemerintah dan rakyat (paloko dan kinalang), apakah kita ingin sama-sama melangkah atau hanya menjadikan ini sebagai wacana. Dan agar tidak hanya sekadar wacana, Herson Mayulu mengusulkan agar yang memimpin Kotamobagu setelah menjadi Kota adalah seorang teknokrat.
Keberadaan teknokrat sebagai pimpinan Kota Kotamobagu diharapkan dapat meletakan dasar pijak Kota Kotamobagu. Setelah dasar pijak Kota Kotamobagu diletakan dan kuat, barulah pimpinan Kota Kotamobagu dapat dipegang siapapun, termasuk politisi.
“Sebab lain teknokrat saya ajukan karena saya tak akan mencalonkan diri,” katanya bergurau sambil melirik ke beberapa politisi yang juga hadir dalam diskusi ini.
Wahyudi Lukman, salah satu peserta diskusi, walau tidak mendebat apa yang disampaikan Herson, namun punya pemikiran lain. Pengelola Motoboi Televisi dan aktivis Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini lebih menitik beratkan pada moralitas pimpinan. Beliau juga mengusulkan pembentukan semacam Lembaga Pengawas yang yang beranggotakan berbagai unsur di pemerintahan dan masyarakat yang akan mengawasi jalannya pembangunan di Kotamobagu. (Tim)

0 komentar:

Posting Komentar